Lailatul Qadr (hati)

Oleh : KH. Sholahuddin Wahid

MENGALAMI atau mendapatkan Lailatul Qadr (malam kemuliaan) adalah saat yang paling dinanti, paling diinginkan dan diburu oleh setiap Muslim. Diyakini bahwa malam itu lebih utama dari pada 1.000 bulan, atau lebih dari 80 tahun. Kita tahu bahwa amat sangat sedikit manusia Indonesia yang bisa mencapai usia 80 tahun. Usia harapan hidup kita saat ini dibawah 70 tahun.

Wajar kalau tidak dijelaskan kapan malam ke muliaan itu akan berlangsung, sebab kalau dipastikan tentu semua Muslim akan merasa memperoleh atau mengalami malam kemuliaan itu. Kalau sudah mengalaminya, seseorang bisa merasa sudah punya deposito amal yang banyak sehingga mungkin berpikir boleh berbuat dosa ringan. Padahal kita beribadah bukan seperti menghitung aliran pahala dan dosa.
Umumnya kita menganggap bahwa malam kemuliaan itu terjadi pada malam likuran yang ganjil dari bulan Ramadhan. Ada yang menganggap bahwa malam kemuliaan itu tepat pada hari turunnya Al-Quran (nuzul Al-Quran). Ada yang menganggapnya pada malam ke-27 Ramadhan. Tetapi timbul masalah bagaimana kalau kita memulai puasa Ramadhan pada tanggal yang berbeda.

Kita serahkan pada masing-masing untuk menentukan dan meyakini pada tanggal berapa Ramadhan, malam kemuliaan itu berlangsung. Ketidakjelasan mana tanggal yang pasti justru akan mendorong kita untuk memperbanyak ibadah guna meraih malam kemuliaan itu.

Apa ada tanda dari berlangsungnya malam kemuliaan itu? Ada ulama yang menyatakan bahwa tanda pertama ialah pada pagi dan siang hari sebelumnya, matahari bersinar tidak terlalu panas, sesuai Hadits riwayat Muslim. Tanda kedua: pada malam harinya langit tampak bersih, tidak tampak awan sedikitpun, suasana tenang dan sunyi, hawa tidak panas dan tidak dingin.

Tanda-tanda seperti di atas juga disampaikan oleh puisi Taufiq Ismail yang dinyanyikan oleh Trio Bimbo. Dengan adanya perubahan iklim akibat pemanasan global, apakah tanda itu masih bisa kita pegang? Sekali lagi, justru ketidakpastian waktu dan tanda-tanda alam akan mendorong kita untuk lebih rajin beribadah memburunya.

Mungkin akan lebih bermanfaat bila kita melihat tanda-tanda yang ada pada diri kita. Maksudnya ialah mengetahui sejauhmana ibadah puasa telah memberi dampak pada diri kita. Sejauhmana kita mampu melakukan pengendalian diri terhadap dorongan negatif yang timbul dalam diri kita.

Salah satu tandanya ialah sejauhmana perilaku kita berubah setelah kita menjalani penyucian diri selama Ramadhan. Sejauhmana terjadi peningkatan kesalehan personal (ritual), kesalehan sosial, kesalehan profesional kita. Apalagi kalau kita juga mempunyai kesalehan terhadap alam.

Kalau kita masih sulit untuk berderma, berkata kasar, mudah mengambil hak orang lain, memperdagangkan hukum, melakukan komersialisasi jabatan (dalam berbagai bentuk cara), amat sulit untuk bisa mengatakan bahwa kita telah mengalami malam kemuliaan.

Secara relatif tidak banyak Muslim di Indonesia yang mampu memenangi puasa yang sesungguhnya, bukan hanya puasa fisik. Semoga semakin banyak Muslim di Indonesia yang bisa memperbaiki perilakunya dalam kehidupan pribadi, sosial, dan profesi. Terutama mereka yang mempunyai posisi menentukan (memberi izin, memutuskan perkara di lembaga penegak hukum, menentukan pemenang lelang).(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)

0 komentar:

Posting Komentar