Teruslah Berharap Ampunan

Tausiyah Romadhon

Jakarta, rabigh
Di hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan, orang-orang mukmin diharapkan terus ber-taqorrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan terus memperbanyak berdzikir dan sholat malam. Orang-orang mukmin diharapkan tetap tegar beribadah, karena pada hari-hari terakhir bulan Ramadhan inilah waktu-waktu yang paling banyak godaannya.

Pada malam-malam terakhir inilah, akan tempak hamba mana yang mendapatkan hidayah dan keridhoan Allah di bulan Ramadhan. Pada hari-hari terakhir ini, semakin semakin tampak, manakah hamba yang dapat merasakan indahnya Ramadahan dan mana hamba yang justru tertipu oleh nafsunya sendiri.
"Mereka yang merasakan manisnya beribadah, tentu lebih memilih untuk beriktikaf di Masjid-masjid dan memperbanyak berdzikir kepada Allah. Sedangkan mereka yang tertipu oleh nafsunya sendiri, tentu akan lebih suka mendatangi pusat-pusat perbelanjaan untuk memuaskan diri," terang KH Subhan Sullam, Rabu (16/9).

Dalam tausiyahnya di hadapan ratusan jamaah buka puasa bersama yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) ini Subhan menjelaskan, orang-orang yang dapat meraasakan indahnya beribadah di bulan Ramadhan, tentu akan selalu berharap untuk bertemu dengan malam Lailatul Qodar, sehingga mereka akan terus mempersiapkan diri unruk menyongsongnya.

"Orang mukmin mana yang tidak menginginkan ibadahnya diterima oleh Allah SWT dan dilipatgandakan pahalanya. Namun tentu ini sangat berat, hanya mereka yang mendapatkan pertolongan Allah saja yang dapat memilih dengan benar, yakni semakin khusyuk beribadah di malam-malam terakhir bulan Ramadhan," tandas Subhan. (min)

Lailatul Qadr (hati)

Oleh : KH. Sholahuddin Wahid

MENGALAMI atau mendapatkan Lailatul Qadr (malam kemuliaan) adalah saat yang paling dinanti, paling diinginkan dan diburu oleh setiap Muslim. Diyakini bahwa malam itu lebih utama dari pada 1.000 bulan, atau lebih dari 80 tahun. Kita tahu bahwa amat sangat sedikit manusia Indonesia yang bisa mencapai usia 80 tahun. Usia harapan hidup kita saat ini dibawah 70 tahun.

Wajar kalau tidak dijelaskan kapan malam ke muliaan itu akan berlangsung, sebab kalau dipastikan tentu semua Muslim akan merasa memperoleh atau mengalami malam kemuliaan itu. Kalau sudah mengalaminya, seseorang bisa merasa sudah punya deposito amal yang banyak sehingga mungkin berpikir boleh berbuat dosa ringan. Padahal kita beribadah bukan seperti menghitung aliran pahala dan dosa.
Umumnya kita menganggap bahwa malam kemuliaan itu terjadi pada malam likuran yang ganjil dari bulan Ramadhan. Ada yang menganggap bahwa malam kemuliaan itu tepat pada hari turunnya Al-Quran (nuzul Al-Quran). Ada yang menganggapnya pada malam ke-27 Ramadhan. Tetapi timbul masalah bagaimana kalau kita memulai puasa Ramadhan pada tanggal yang berbeda.

Kita serahkan pada masing-masing untuk menentukan dan meyakini pada tanggal berapa Ramadhan, malam kemuliaan itu berlangsung. Ketidakjelasan mana tanggal yang pasti justru akan mendorong kita untuk memperbanyak ibadah guna meraih malam kemuliaan itu.

Apa ada tanda dari berlangsungnya malam kemuliaan itu? Ada ulama yang menyatakan bahwa tanda pertama ialah pada pagi dan siang hari sebelumnya, matahari bersinar tidak terlalu panas, sesuai Hadits riwayat Muslim. Tanda kedua: pada malam harinya langit tampak bersih, tidak tampak awan sedikitpun, suasana tenang dan sunyi, hawa tidak panas dan tidak dingin.

Tanda-tanda seperti di atas juga disampaikan oleh puisi Taufiq Ismail yang dinyanyikan oleh Trio Bimbo. Dengan adanya perubahan iklim akibat pemanasan global, apakah tanda itu masih bisa kita pegang? Sekali lagi, justru ketidakpastian waktu dan tanda-tanda alam akan mendorong kita untuk lebih rajin beribadah memburunya.

Mungkin akan lebih bermanfaat bila kita melihat tanda-tanda yang ada pada diri kita. Maksudnya ialah mengetahui sejauhmana ibadah puasa telah memberi dampak pada diri kita. Sejauhmana kita mampu melakukan pengendalian diri terhadap dorongan negatif yang timbul dalam diri kita.

Salah satu tandanya ialah sejauhmana perilaku kita berubah setelah kita menjalani penyucian diri selama Ramadhan. Sejauhmana terjadi peningkatan kesalehan personal (ritual), kesalehan sosial, kesalehan profesional kita. Apalagi kalau kita juga mempunyai kesalehan terhadap alam.

Kalau kita masih sulit untuk berderma, berkata kasar, mudah mengambil hak orang lain, memperdagangkan hukum, melakukan komersialisasi jabatan (dalam berbagai bentuk cara), amat sulit untuk bisa mengatakan bahwa kita telah mengalami malam kemuliaan.

Secara relatif tidak banyak Muslim di Indonesia yang mampu memenangi puasa yang sesungguhnya, bukan hanya puasa fisik. Semoga semakin banyak Muslim di Indonesia yang bisa memperbaiki perilakunya dalam kehidupan pribadi, sosial, dan profesi. Terutama mereka yang mempunyai posisi menentukan (memberi izin, memutuskan perkara di lembaga penegak hukum, menentukan pemenang lelang).(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)

MUI Luruskan Salah Paham Beda Metode Penentuan 1 Syawal

Jakarta, rabigh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluruskan kesalahpahaman di kalangan masyarakat tentang perbedaan metode penentuan 1 Syawal atau bulan-bulan lainnya seperti yang diyakini Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah atau ormas Islam lainnya.

Bagi sebagian masyarakat, Muhammadiyah dikenal menggunakan metode hisab (perhitungan astronomis). Sementara, NU seringkali disebut-sebut hanya menggunakan metode rukyat (pengamatan terhadap bulan sebagai penanda pergantian kalender). Padahal, pandangan tersebut tidak benar.
“Semua (ormas) menggunakan metode hisab. NU juga menggunakan metode hisab untuk menentukan 1 Syawal atau bulan-bulan lainnya. Hanya, selain menentukan melalui metode hisab, NU memerlukan pembuktian, yakni dengan cara rukyat,” terang Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin, kepada wartawan di kantor MUI, Jakarta, Selasa (15/9).

Ia mencontohkan penentuan 1 Syawal tahun ini yang diperkirakan sama antara NU dan Muhammadiyah: pada Ahad, 20 September 2009. Hal tersebut terjadi karena proses hisab antara NU dan Muhammadiyah menunjukkan hasil yang sama, yakni perkiraan ketinggian bulan yang sudah mencapai 3-5 derajat pada Sabtu, 19 September malam.

Hal tersebut juga didasari dua pola pendekatan, yakni pendekatan wujudul hilal dan imkanur rukyat.

Wujudul hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapa pun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.

“Kalau menurut pendekatan wujudul hilal ketinggian minimal untuk melihat hilal, bisa 0,5 derajat atau 1 derajat sudah cukup,” terang Kiai Ma’ruf.

Sedangkan imkanur rukyat adalah kesepakatan Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura tentang ketinggian minimal untuk melihat hilal, yakni, minimal 2 derajat. (rif)

Sholah Ied Afdhol Di Masjid

Hukum Shalat Id di Masjid atau di Lapangan

Hukum shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan tetapi tidak wajib). Meskipun ibadah sunnah muakkadah, Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya setiap tahun dua kali.

Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi SAW terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Id. Nabi memerintahkan umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid.”
“Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya.”

Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.

Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.

عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )

Mengerjakan shalat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah, kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini.

Namun demikian, menunaikan shalat Id di masjid lebih utama. Imam As-Syafi'i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid.

أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ.... فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ

”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar.... karena shalat di masjid lebih utama”

Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: "Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)

Sebenarnya, melaksanakan shalat Id hukumnya sunnah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. Shalat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jema’ah. Akan tetapi menyelenggarakan shalat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jema’ah.

Sekali lagi, fokus utama dalam hukum shalat Id ini adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan.

Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya; untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.


HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Santri Lirboyo Tahlil untuk Korban Gempa Tasikmalaya

Kediri, rabigh
Ribuan santri Pondok PesantrenLirboyo, di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jumat (4/9) siang menggelar doa bersama untuk para korban gempa Tasikmalaya, Jawa Barat.

Dalam doa yang dipimpin oleh KH. Anwar Mansur, pengasuh pondok, ribuan santri membacakan tahlil bersama, bertempat di Masjid Lawang Songo, lingkungan Ponpes Lirboro. Sedangkan pelaksanaanya, usai Sholat Jumat.
KH Anwar Mansur, usai memimpin tahlil mengatakan, tahlil bersama dilakukan oleh seluruh santri untuk mendoakan para korban gempa Tasikmalaya. "Kita membacakan tahlil untuk mereka para korban gempa Tasikmalaya, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT," tutur KH Anwar Mansur seperti dilansir beritajatim.com.

Dijelaskan KH Anwar Mansur, memang rencana sebelumnya pada hari ini Jumat ini akan menggelar sholat gaib bersama. Namun, karena sampai saat ini jumlah korban meninggal dunia pada Gempa Tasikmalaya belum diketahui secara pasti, maka kegiatan sholat gaib belum bisa dilakukan hari ini.

"Syarat dari pelaksanaan sholat gaib itu harus diketahui berapa jumlah dari yang meninggal dunia, serta harus sudah dikremasi. Yakni, dimandikan, dikafani dan dimakamkan. Insya Allah, Jumat yang akan datang, kita sudah bisa menggelar sholat gaib," terang KH Anwar Mansur.

Secara terpisah, Muklas, salah satu pengurus Ponpes Lirboyo mengatakan, kegiatan doa bersama, membacakan tahlil sebenarnya sudah dilakukan pascainsiden gempa Tasikmalaya kemarin. "Sebenarnya, kita setiap saat juga mendoakan mereka para korban bencana Tasikmalaya," kata Muklas.

Menurut Muklas, jumlah santri yang ikut dalam tahlil bersama Jumat siang ini sekitar 6.000 santri. Mengingat, dari jumlah total santri yang kini sudah mencapai 10.000 orang, pada bulan Ramadan 1430 H ini banyak yang pulang. (mad)